LEGENDA PINTU PENANGKAL PETIR DI MASJID AGUNG DEMAK

Masjid Agung Demak
Masjid Agung Demak / https://bujangmasjid.blogspot.com/


Masjid Agung Demak merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. Tempat ibadah yang terletak di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, ini dibangun oleh Raden Patah dari Kerajaan Demak dibantu para Wali Songo pada abad ke-15 Masehi setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit.

Tak sulit menemukan letak Masjid Agung Demak, pasalnya masjid ini telah menjadi situs ziarah dan objek wisata sejarah yang populer di kota Demak. Kisah mengenai Masjid Agung Demak selalu mengundang decak kagum, karena tempat ibadah ini dikenal sebagai tempat berkumpulnya Wali Songo yang membantu menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa. Oleh sebab itu, kota Demak disebut sebagai kota wali.

Mengutip situs resmi Pemerintah Kabupaten Demak, pembangunan masjid yang dilakukan oleh raja pertama Demak, Raden Patah, bersama dengan Wali Songo.  Momen tersebut tercatat pada temuan prasasti bergambar bulus (hewan sejenis kura-kura) yang bernama Candra Sengkala Memet atau Sariro Sunyi Kiblating Gusti yang memiliki makna tahun 1401 Saka.

AYO Ke Masjid: Prasasti Bulus di Masjid Agung Demak

Gambar bulus ini terdiri dari angka satu (1),kaki empat berarti angka empat (4), badan bulus yang bulat berarti angka nol (0), serta ekor bulus berarti angka satu (1).

Harmonisasi Hindu-Islam

Mengutip situs resmi Cagar Budaya Kemdikbud, Masjid Agung Demak dibangun dengan gaya khas Majapahit, yang membawa corak kebudayaan Bali. Gaya ini berpadu harmonis dengan langgam rumah tradisional Jawa Tengah. Persinggungan arsitektur Masjid Agung Demak dengan bangunan Majapahit bisa dilihat dari bentuk atapnya. Kubah melengkung yang identik dengan ciri masjid sebagai bangunan Islam malah tak tampak.

Kecuali mustoko yang berhias asma Allah dan menara masjid yang sudah mengadopsi gaya menara masjid Melayu, arsitektur Masjid Agung Demak yang terlihat justru adaptasi dari bangunan peribadatan agama Hindu. Bentuk ini diyakini merupakan bentuk akulturasi dan toleransi masjid sebagai sarana penyebaran agama Islam di tengah masyarakat Hindu.

Dengan bentuk atap berupa tajuk tumpang tiga berbentuk segi empat, atap Masjid Agung Demak lebih mirip dengan bangunan suci umat Hindu, pura yang terdiri atas tiga tajuk. Bagian tajuk paling bawah menaungi ruangan ibadah. Tajuk kedua lebih kecil dengan kemiringan lebih tegak ketimbang atap di bawahnya. Sedangkan tajuk tertinggi berbentuk limas dengan sisi kemiringan lebih runcing.

Masjid Agung Demak

Di dalam bangunan utama terdapat ruang utama, mihrab, dan serambi. Ruang utama yang berfungsi sebagai tempat shalat jamaah, letaknya di bagian tengah bangunan. Sedangkan, mihrab atau bangunan pengimaman berada di depan ruang utama, berbentuk sebuah ruang kecil dan mengarah ke arah kiblat (Makkah).

Di bagian belakang ruang utama terdapat serambi berukuran 31 x 15 meter yang tiang-tiang penyangganya disebut Soko Majapahit yang berjumlah delapan buah itu dan diperkirakan berasal dari kerajaan Majapahit. Atap Masjid Agung Demak bertingkat tiga (atap tumpang tiga), menggunakan sirap (atap yang terbuat dari kayu) dan berpuncak mustaka. Atap ini menggambarkan iman, Islam, dan ihsan.

Dinding masjid terbuat dari batu dan kapur. Pintu masuk masjid diberi lukisan bercorak klasik. Seperti masjid-masjid yang lain, Masjid Agung Demak dilengkapi dengan sebuah bedug. Di masjid ini juga terdapat Pintu Bledeg, bertuliskan Condro Sengkolo, yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.

Pawestren merupakan bangunan yang khusus dibuat untuk shalat jama'ah wanita yang dibangun menggunakan konstruksi kayu jati, dengan bentuk atap limasan berupa sirap (genteng dari kayu) kayu jati. Bangunan ini ditopang 8 tiang penyangga, 4 di antaranya berhias ukiran motif Majapahit. Luas lantai yang membujur ke kiblat berukuran 15 x 7,30 m.

Pawestren ini dibuat pada zaman K.R.M.A. Arya Purbaningrat, tercermin dari bentuk dan motif ukiran maksurah atau khalwat yang bertarikh tahun 1866 M.

Legenda Pintu Penangkal Petir di Masjid Agung Demak

Pintu Bledeg

Pintu Bledeg di Masjid Agung Demak terbuat dari kayu jati dan dihiasi berbagai ukiran cantik bergambar dua kepala naga. Pintu ini konon adalah gambar petir yang ditangkap dan digambar oleh Ki Ageng Selo. Konon, Ki Ageng Selo memiliki kesaktian bisa menangkap petir. Pintu kayu jati buatannya ini diyakini dapat berfungsi sebagai penangkal petir. Oleh karena itu pintu tersebut diberi nama pintu bledeg yang bermakna pintu petir.

Sejarah Pintu Bledeg – Dinas Pariwisata Kabupaten Demak

Bledeg yang ditangkap Ki Ageng Selo lalu diperlihatkan kepada Raden Fatah dan sembilan wali, kemudian setelah itu Raden Fatah memerintahkan Ki Ageng Selo untuk menggambar bentuk bledeg tersebut. Pintu bledeg didominasi dengan warna merah dan dilengkapi dengan berbagai ukiran termasuk dua kepala naga. Pintu ini juga merupakan prasasti Condro Sengkolo yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani.

Tulisan itu berarti tahun 1388 saka atau 1466 Masehi. Tahun tersebut diprediksi sebagai peletakan batu pertama dari pembangunan Masjid Agung Demak. Pintu bledeg ini memang dulunya digunakan sebagai pintu di masjid tersebut. Saat ini pemandangan Pintu Bledeg bisa dinikmati di Museum Masjid Agung Demak.

Masjid yang telah masuk dalam daftar Cagar Budaya Nasional Indonesia ini masih berada satu lokasi dengan kompleks makam Kesultanan Demak.

Di sana terdapat makam Raden Patah, makam Syekh Maulana Magribi, makam Pati Unus Raja Demak ke-2, dan makam Sultan Trenggono Raja Demak yang ke-3, dan makam pembesar Demak lainnya. Pengunjung masjid juga biasanya tidak lupa untuk menengok situs kolam wudhu, yang merupakan tempat berwudhu para Wali Songo. Kolam yang memiliki ukuran 10x25 meter ini mempunyai tiga batu dengan ukuran yang berbeda.

Batu berwarna hitam yang lebih besar berdiri tegak, sementara dua batu hitam tergeletak bersamaan dengan batu hias lainnya yang ukurannya lebih kecil.

 

 

Baca Juga :

LOKASI