Roti Ganjel Rel dikenal sebagai salah satu kuliner khas Kota Semarang, Jawa Tengah, yang mempunyai bentuk balok memanjang dan berwarna cokelat keemasan—taburan wijen di atasnya menjadi salah satu ciri visualnya. Menurut penelitian Safitri et al., makanan ini pada awalnya terinspirasi dari roti Belanda bernama Ontbijtkoek yang banyak dikonsumsi oleh bangsawan kolonial. Karena akses ke bahan seperti tepung terigu dan kacang almond terbatas bagi masyarakat lokal pada masa kolonial, maka lahirlah adaptasi lokal berupa Roti Ganjel Rel menggunakan bahan lokal seperti gaplek (singkong kering) atau campuran rempah-rempah.
Bahan-bahan utama dalam pembuatan roti ini mencakup tepung (atau substitusi lain), gula jawa atau gula aren, rempah-rempah seperti jahe, kayu manis, cengkeh, serta wijen sebagai taburan. Teksturnya agak padat atau keras karena dahulu memang dibuat sebagai makanan tahan lama atau jajanan tradisional yang bisa disimpan—dan juga sebab bentuknya dianggap mirip “ganjel rel”, yaitu balok pengganjal pada rel kereta api.
Dalam tradisi kota Semarang, Roti Ganjel Rel memiliki posisi khusus terutama menjelang Ramadan. Saat festival Dugderan, roti ini sering dibagikan kepada masyarakat sebagai bagian dari rangkaian acara menyambut puasa. Namun demikian, popularitasnya mulai meredup karena persaingan dengan makanan modern dan perubahan selera konsumen muda. Sebuah pengusaha di Semarang mengungkap bahwa produksi dilakukan saat permintaan tinggi (seperti Ramadan) tapi di hari biasa sangat jarang.
Melihat tantangan pelestarian, inovasi mulai diterapkan untuk menjaga eksistensi roti ini. Misalnya, modifikasi tekstur agar lebih lembut dengan menambahkan telur dan mengubah sebagian bahan pokok agar ramah di lidah generasi sekarang. Upaya tersebut juga mencakup promosi sebagai oleh-oleh khas Semarang dan pengajuan agar roti ini menjadi warisan budaya kuliner lokal.
Dengan begitu, Roti Ganjel Rel bukan hanya soal rasa manis atau rempah-rempah melainkan juga sebuah warisan budaya yang mengingatkan kita akan masa kolonial, kreativitas masyarakat lokal dalam mengadaptasi bahan, hingga pentingnya menjaga identitas kuliner daerah di era globalisasi. Menyantapnya berarti turut menghargai jejak sejarah Kota Semarang dan upaya generasi kini melanjutkan tradisi tersebut.
Baca Juga :