SEJARAH DAN 9 TERAS CANDI CETHO

Candi Cetho
Candi Cetho / Mytrip123.com


Sebelum menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), di wilayah Nusantara berdiri sejumlah kerjaan yang bukti-bukti kejayaannya masih bisa dilihat hingga saat ini. Bukti kejayaan kerajaan-kerajaan di masa lalu dapat dilihat dari situs-situs peninggalan, mulai dari prasasti hingga bangunan candi. Salah satu candi yang merupakan peninggalan kerajaan di masa lalu adalah Candi Cetho.

Lokasi Candi Cetho berada di lereng Gunung Lawu, tepatnya di Dusun Cetho, Desa Gumen, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Candi Cetho diambil dari penyebutan dari masyarakat daerah sekitar terhadap candi ini dimana nama ini sebenarnya merupakan nama dusun tempat candi ini dibangun yaitu Dusun/Kampung Cetho. Candi ini dibangun di masa-masa Kerajaan Majapahit Hindu.

Candi Cetho ditemukan pertama kalinya pada tahun 1842 oleh Van Der Vlis. Kemudian, sejumlah ahli purbakala seperti W,F. Sutterheim K.C. Crucq, N.J. Krom, A.J. Candi Cetho memiliki bentuk arsitektur seperti punden berundak, berbeda dengan arsitektur candi pada umumnya. Candi ini dibangun di akhir masa-masa Kerajaan Majapahit, dimana saat ini kerajaan ini sudah akan runtuh. Oleh karena itu arsitektur di Candi Cetho ini memperkenalkan kebudayaan asli masyarakat sekitar Dusun Candi Cetho.

Saat pertama kali ditemukan, candi ini memiliki 14 teras. Tapi saat ini, hanya terdapat 9 teras. Kesembilan teras yang dapat ditemukan pada saat ini merupakan hasil pemugaran yang dilakukan oleh Sudjono Humardani pada tahun 1975-1976. Pemugaran ini menuai banyak kritik dari para ahli karena dinilai tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan pemugaran cagar budaya.

Pada teras pertama, terdapat gapura besar yang merupakan penambahan saat pemugaran dan dua arca penjaga. Naik ke teras kedua, dapat dijumpai petilasan Ki Ageng Kricingwesi. Ki Ageng Kricingwesi dipercaya sebagai leluhur masyarakat Dusun Ceto.

Di teras ketiga, terdapat batu mendatar yang disusun membentuk kura-kura raksasa. Kura-kura ini diperkirakan merupakan lambang Majapahit yang disebut surya Majapahit.

Naik ke teras keempat, terdapat relief yang memuat cuplikan kisah Samudramanthana dan Garudeya. Adanya cuplikan dua kisah ini juga menguatkan asumsi fungsi Candi Cetho sebagai tempat peruwatan. Sementara, pada teras kelima dan keenam, terdapat bangunan berupa pendapa yang sering digunakan sebagai tempat berlangsungnya upacara-upacara keagaamaan. Pada teras ketujuh, terdapat dua arca di sisi utara dan selatan. Arca tersebut adalah arca Sabdapalon dan Nayagenggong. Menurut kepercayaan, Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan penasihat spiritual Prabu Brawijaya V.

Di teras kedelapan, terdapat arca phallus yang disebut “kuntobimo” dan arca Prabu Brawijaya V dalam wujud mahadewa. Sementara, teras yang terakhir merupakan tempat pemanjatan doa. Teras kesembilan ini tidak dibuka setiap saat. Pada tangga masuknya, terdapat gerbang yang dikunci. Gerbang baru dibuka pada acara-acara khusus, seperti sembahyang.

Candi ini buka setiap hari, dari jam 09.00 WIB sampai dengan jam 17.00 WIB. Harga tiket masuk sebesar Rp3.000 untuk wisatawan domestik dan Rp10.000 untuk wisatawan mancanegara

           

Baca Juga :

LOKASI