Semarang pada malam itu seakan menjelma menjadi saksi bisu sekaligus panggung yang hidup ketika Teatrikal Pertempuran Lima Hari kembali dipentaskan di kawasan Tugu Muda. Ribuan penonton larut dalam suasana, menyimak setiap adegan yang membawa mereka kembali pada kisah heroik rakyat Semarang dalam menolak penjajahan pada Oktober 1945.
Pertunjukan diawali dengan prosesi pelantikan, kemudian dilanjutkan pembacaan cuplikan sejarah Pertempuran Lima Hari yang berlangsung pada 15–19 Oktober 1945. Beberapa sumber bahkan mencatat bahwa pertempuran sudah mulai terjadi sejak 14 Oktober 1945.
Ketika lampu panggung mulai diredupkan, suasana berubah dramatis. Nyala obor menjadi satu-satunya penerang yang memantulkan semangat perjuangan pada wajah para pemain. Suara sirine, dentuman senjata, dan teriakan perlawanan menciptakan atmosfer mencekam yang menggambarkan masa di mana rakyat Semarang menyambut kemerdekaan, namun harus kembali menghadapi agresi pasukan Jepang yang menolak menyerahkan senjata.
Salah satu adegan paling menyentuh adalah kisah dr. Kariadi, tokoh medis yang berani menyelidiki isu racun di reservoir Candi, namun gugur dalam tugasnya. Peristiwa tragis itu menjadi pemantik pertempuran besar antara rakyat Semarang dan tentara Jepang selama lima hari penuh.
Sosok Stephanus Sukirno, sang sutradara, telah menjadi penggerak utama pementasan sejak tahun 2008. Setiap tahunnya, ia selalu menghadirkan sentuhan baru — mulai dari penambahan tokoh sejarah lokal seperti Gubernur Wongsonegoro, hingga peran masyarakat biasa seperti Oei Tiong Djoe yang turut membantu perjuangan lewat logistik. Sukirno meyakini bahwa setiap tokoh, sekecil apa pun kontribusinya, patut dikenang dalam lembaran sejarah bangsa.
Tahun ini, pertunjukan tampil lebih megah dengan perpaduan unsur tari, musik orkestra, dan tata cahaya yang semakin dramatis. Puncak acara ditandai dengan letupan kembang api yang menghiasi langit Tugu Muda, menjadi simbol bahwa api perjuangan tidak pernah padam, melainkan terus menyala dalam ingatan kolektif masyarakat.
Bagi Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, peringatan ini bukan sekadar tontonan seni, melainkan momentum untuk menanamkan kembali nilai-nilai pengorbanan, persatuan, dan semangat pantang menyerah kepada generasi muda di tengah tantangan zaman modern.
Bagi masyarakat Semarang sendiri, Teatrikal Pertempuran Lima Hari telah menjadi lebih dari sekadar hiburan sejarah. Ia menjadi ruang refleksi dan pengingat bahwa perjuangan para pahlawan merupakan fondasi dari identitas bangsa yang harus terus dijaga dan diwariskan.
Baca Juga :