TRADISI SYAWALAN YANG MASIH DIADAKAN DI PEKALONGAN

Tradisi Syawalan
Tradisi Syawalan / Istimewa


Syawalan menjadi tradisi masyarakat Pekalongan, khususnya masyarakat di Daerah Krapyak di bagian utara Kota PekalonganTradisi syawalan biasanya dilaksanakan pada setiap hari ketujuh (8 Syawal) sesudah Hari Raya Idul Fitri. Namun, pendemi Corona selama dua tahun ini membuat perayaan kue lopis raksasa ditiadakan.

Uniknya, dalam pelaksanaan tradisi ini adalah dibuatnya Lupis Raksasa yang ukurannya mencapai tinggi 2 meter diameter 1,5 meter dan beratnya bisa mencapai 1.000 Kg lebih atau 1 kuintal. Setelah acara do’a bersama, Lupis Raksasa kemudian dipotong oleh Walikota Pekalongan dan dibagi-bagikan kepada para pengunjung. Para pengunjung biasanya berebut untuk mendapatkan Lupis tersebut yang maksudnya untuk mendapat berkah.

Pembuatan Lupis dimaksudkan untuk mempererat tali silahturahmi antar masyarakat Krapyak dan dengan masyarakat daerah sekitarnya, hal ini diidentikkan dengan sifat Lupis yang lengket.

Warga Krakitan-Bayat Gelar Syawalan, 15 Gunungan Ketupat Diperebutkan -  Tribun Jogja

SEJARAH TRADISI SYAWALAN

Asal mula tradisi syawalan ini adalah sebagai berikut, pada tanggal 8 Syawal masyarakat Krapyak berhari raya kembali setelah berpuasa 6 hari, dalam kesempatan ini, mereka membuat acara ‘open house’ menerima para tamu baik dari luar desa dan luar kota. Hal ini diketahui oleh masyarakat diluar krapyak, sehingga merekapun tidak mengadakan kunjungan silaturahmi pada hari-hari antara tanggal 2 hingga 7 dalam bulan Syawal, melainkan berbondong-bondong berkunjung pada tanggal 8 Syawal. Yang demikian ini berkembang luas, bahkan meningkat terus dari masa ke masa sehingga terjadilah tradisi Syawalan seperti sekarang ini.

Tradisi Syawalan yang rutin dilakukan oleh masyarakat Kota Pekalongan ini sudah dimulai sejak 130-an tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1855 M. Kali pertama yang mengelar hajatan Syawalan ini adalah KH. Abdullah Sirodj yang merupakan keturunan dari Kyai Bahu Rekso. Upacara pemotongan lopis ini baru dimulai sejak tahun 1956 oleh bapak Rohmat, kepala desa daerah tersebut pada saat itu. Lopisan berasal dari kata lopis, yaitu sejenis makanan spesifik Krapyak yang bahan bakunya terdiri dari ketan, yang memiliki daya rekat luar biasa bila sudah direbus sampai masak benar. Lopis memang mengandung suatu falsafah tentang persatuan dan kesatuan yang merupakan sila ketiga dari Pancasila kita. Betapa tidak, ia dibungkus dengan daun pisang, diikat dengan tambang dan direbus selama empat hari tiga malam, sehingga tidak mungkin lagi butir-butir ketan itu untuk bercerai berai kembali sebagaimana semula. Mengapa tidak dibungkus dengan plastik atau bahan lain yang lebih praktis, sesuai dengan kecangihan masa kini ? Pohon pisang tidak mau mati sebelum berbuah dan beranak yang banyak atau dengan kata lain tak mau mati sebelum berjasa dan meninggalkan generasi penerus sebagai penyambung estafet. Demikian mendalamnya pemikiran sesepuh kita terdahulu.


 

Baca Juga :

LOKASI