Wingko Babat telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas kuliner Kota Semarang. Meski nama “Babat” mengacu pada daerah asalnya di Lamongan, Jawa Timur, justru Semaranglah yang berhasil mengangkat pamor makanan ini hingga dikenal ke seluruh penjuru Indonesia. Sejarahnya bermula sekitar awal abad ke-20 ketika para perantau asal Babat membawa resep kue kelapa panggang ini ke Semarang. Mereka menjajakan wingko di sekitar kawasan Pelabuhan Tanjung Emas dan Stasiun Tawang dua titik strategis tempat lalu-lalangnya pedagang dan penumpang kereta api. Keberadaan wingko di area transportasi inilah yang kemudian menjadikannya oleh-oleh khas para pelancong dari dan menuju Semarang.
Wingko Babat dikenal sebagai kue sederhana namun kaya cita rasa. Bahan dasarnya terdiri dari parutan kelapa tua yang masih segar, tepung ketan, gula pasir, dan sedikit santan untuk menambah aroma gurih. Adonan tersebut dicetak pipih, lalu dipanggang perlahan di atas bara arang. Proses pemanggangan ini tidak bisa dilakukan terburu-buru dibutuhkan kesabaran agar hasilnya matang merata, bagian luar kecokelatan, sementara dalamnya tetap lembut dan sedikit kenyal. Dari sinilah muncul aroma khas kelapa bakar yang menggoda, menjadi daya tarik utama setiap kali wingko keluar dari tungku.
Dalam perkembangannya, wingko tidak hanya berwujud rasa original kelapa. Para pengrajin dan produsen wingko di Semarang mulai berinovasi dengan berbagai varian rasa seperti cokelat, durian, nangka, pandan, dan keju. Namun, cita rasa klasik tetap menjadi favorit utama para penikmat kuliner tradisional. Tekstur lembut dan rasa gurih-manis yang seimbang membuatnya cocok dinikmati bersama teh hangat atau kopi hitam, baik di pagi hari maupun sebagai teman santai sore.
Keunikan lain dari Wingko Babat Semarang terletak pada kemasannya yang khas. Biasanya, wingko dibungkus dengan kertas bertuliskan nama merek dan desain klasik yang tak banyak berubah sejak puluhan tahun lalu. Salah satu merek legendaris yang masih bertahan hingga kini adalah Wingko Babat Cap Kereta Api, berdiri sejak 1946 dan berlokasi di Jalan Cenderawasih, Semarang. Merek ini menjadi ikon yang melekat kuat di ingatan masyarakat, terutama karena citranya yang otentik dan konsisten menjaga kualitas rasa hingga sekarang. Banyak wisatawan yang merasa kunjungan ke Semarang belum lengkap tanpa membawa pulang sekotak wingko dari toko legendaris tersebut.
Selain aspek rasa dan sejarah, wingko juga menyimpan filosofi budaya Jawa yang dalam. Kelapa, bahan utama wingko, melambangkan manfaat dan kesederhanaan hidup. Dalam tradisi masyarakat Jawa, kelapa sering dianggap simbol kehidupan yang berguna dari akar hingga pucuknya mencerminkan nilai gotong royong dan keberkahan. Maka tak heran jika wingko kerap dihidangkan dalam acara-acara tradisional, seperti syukuran, hajatan, hingga pertemuan keluarga besar. Kehadirannya menjadi simbol doa agar kehidupan selalu manis dan penuh manfaat.
Kini, di tengah munculnya berbagai jajanan modern dan tren kuliner baru, Wingko Babat masih tetap eksis. Banyak generasi muda yang mulai mengemas ulang wingko dalam bentuk lebih modern, seperti mini wingko dengan kemasan praktis atau wingko bites untuk pasar anak muda. Beberapa kedai kopi di Semarang bahkan menjadikannya sebagai menu pendamping kopi lokal, membuktikan bahwa makanan tradisional pun bisa beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan jati diri.
Lebih dari sekadar kudapan manis, Wingko Babat adalah cerminan sejarah panjang perjalanan kuliner di Semarang. Ia menjadi saksi perubahan kota, pengingat nilai budaya, sekaligus penanda bahwa rasa autentik dan kehangatan tradisi akan selalu punya tempat di hati masyarakat Indonesia
Baca Juga :